Pengikut

Rabu, 07 Desember 2016

NEGARA, AGAMA DAN WARGA NEGARA

Negara, Agama, dan Warga Negara
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen: Mohammad Hasib, S.H.I., M.H.




Disusun oleh:

Disusun oleh : 
Efa Ayu Suwarningsih (NIM: 17204153002)
Lela Febrianingsih (NIM: 17204153017)
Siti Zulaika (NIM: 17204153029)
Risma Iftitah (NIM: 17204153038)


Jurusan Tadris Matematika
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
2016




Negara, Agama, dan Warga Negara
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antar agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai pihak yang lain. Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini.
Warga negarapun ikut andil dalam berbagai polemic ini. Adanya pendapat-pendapat serta dorongan-dorongan yang lain lah yang menyebabkan adanya polemik ini.

2. Rumusan Masalah
a) Apakah konsep dasar suatu negara?
b) Bagaimanakah teori terbentuknya negara dan apa sajakah bentuk-bentuk negara?
c) Apakah yang dimaksud dengan agama?
d) Apakah yang dimaksud dengan warga negara dan Warga Negara Indonesia?
e) Bagaimanakah hubungan antara negara dengan warga negaranya?
f) Bagaimanakah hubungan antara agama dengan negara dan atau
sebaliknya?


B. Pembahasan
1. Konsep Dasar Tentang Negara
a. Pengertian Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Negara identik dengan hak dan wewenang.
b. Tujuan Negara
Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain:
Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.
Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.

Tujuan negara menurut para ahli:
Plato menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial.
Thomas Aquinas dan Agustinus tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan.


Ibnu Arabi berpendapat bahwa tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh yang dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan rakyat.

Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, serta membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.

c. Unsur-unsur Negara
Suatu negara harus memiliki tiga unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Selanjutnya disebut sebagai unsur konstitutif.

1) Rakyat
Rakyat adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika ada suatu negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah substratum personel dari negara.

2) Wilayah
Wilayah adalah unsur negara yan harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa ada batas-batas territorial yang jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan, perairan, dan udara.

3) Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapau tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan negaranya yang beragam. Pada umunya, nama sebuah negara identik dengan model pemerintahan yang dijalankannya. Ketiga unsur ini dilengkapi dengan unsur negara lainnya, konstitusi.

4) Pengakuan Negara Lain
Unsur pengakuan oleh negara lain hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam pengakuan suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto ialah pengakuan atas fakta adanya negara, didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah). De jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Suatu negara mendapat hak-haknya di samping kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia.
2. Teori Tentang Terbentuknya Negara

1) Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena keberlangsungnya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J. J. Rouseau.

2) Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurut Hobbes kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera. Keadaan alamiah merupakan suatu keadilan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di dalamnya. Menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.



3) John Locke (1632-1704)
John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling menolong antara individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Ia berpendapat bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Menurut Locke penyelenggara negara atau pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.

4) Jean Jacque Rousseau (1712-1778)
Menurut Rousseau keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk meningkatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi negara dibentuk memalui kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dibentuk dan ditentukan oleh yang bedaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara. Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya memalui kemauan umumnya. Rousseau dikenal sebagai peletak dasar bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat melalui perwakilan organisasi politik mereka. Ia juga sekaligus dikenal sebagai penggagas paham negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan rakyat.





5) Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dkotrin teokratis. Teori ini ditemukan baik di Timur maupun di belahan dunia Barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad Pertengahan. Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.

6) Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara yang kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran dari terbentuknya sebuah negara. Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian yang terjadi di kalangan suku-suku primitif, di mana si pemenang pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang dikalahkan.




3. Bentuk-Bentuk Negara
Secara umum, dalam konsep teori modern, negara terbagi ke dalam dua bentuk: negara kesatuan (unitarianisme) dan negara serikat (federasi).

1) Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan: sentral dan otonomi.

a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Model pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto adalah salah satu contoh sistem pemerintahan model ini.

b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem ini dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swantara. Sistem pemerintahan negara Malaysia dan pemerintahan pasca-Orde Baru di Indonesia dengan sistem otonomi khusus dapat dimasukkan ke model ini.





2) Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat.

Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok: monarki, oligarki, dan demokrasi.

a. Monarki
Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu. Monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Monarki konsitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya (perdana menteri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktikkan di beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam model monarki konstitusional ini, kedudukan raja hanya sebatas simbol negara.




b. Oligarki
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.

c. Demokrasi
Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.


4. Agama
Pengertian agama menurut para ahli dan KBBI: dari segi etimologi terdiri atas dua kata dari bahasa sansekerte yaitu A dan Gama. A berarti tidak dan Gama itu berarti kacau jadi agama adalah tidak kacau. Agama pada dasarnya adalah sikap dasar manusia yang seharusnya kepada Tuhan. Agama mengungkapkan akan diri di dalam sembah dan bakti sepenuh hati hanyalah kepada Tuhan. Berbeda dengan iman yang memang didasarkan pada pewahyuan Tuhan, agama sebenarnya adalah hasil usaha dari manusia, yang telah dikembangkan dalam rangka untuk mengatur berbagai hal yang berhubungan dengan pengungkapan iman. Dengan demikian agama itu tidak sama dengan iman, karena seseorang yang beragama barulah merupakan sebuah awal dari perjalanan panjang yang mesti dilaluinya dalam mengarungi dunia rohani yang tiada batasnya.

Disebutkan tiada batasnya karena yang namanya perjalanan rohani terutama yang berhubungan dengan sesuatu yang gaib atau transenden. Iman menjadi sebuah tanggapan atau jawaban manusia atas perwahyuan dari Tuhan; sedangkan bagaimana dengan jawaban manusia ini akan dikembangkan, diteruskan dan disebarluaskan secara turun-temurun didalam berbagai kegiatan kerohanian, itulah yang sudah diatur dalam agama. Jadi agama itu lebih menjadi suatu lembaga atau wadah yang mempersatukan dan mengatur segala aktivitas yang berhubungan dengan penghayatan dan pengungkapan iman kepada Tuhan.
Dengan pengertian tersebut maka tidak berarti yang namanya agama yang hanya berhubungan dengan hal yang mengarah vertikal saja sementara untuk aspek horizontalnya atau hubungan kepada sesama itu diabaikan. Agama sangat jelas dilihat mempunyai ciri sosial yang sangat begitu luas dan sangat dalam. Agama adalah sebuah ruang tempat atau institusi dan penghayatan atas dimensi sosial yang dari iman kepada Tuhan.
5. Warga Negara
Menurut UU No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 1, warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan. Di Indonesia, istilah warga negara dikenal dengan istilah kaulanegara. Istilah “kaula” berasal dari bahasa Jawa yang menurut peraturan perundang-undangan di Hindia Belanda memiliki pengertian yang sepadan dengan istilah onderdaan (Bahasa Belanda) yang berarti ikatan antara seorang warga negara dan negaranya.




6. Warga Negara Indonesia (WNI)
Menurut UUKI 2006 (Pasal 4, 5, dan 6) mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia antara lain:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI).
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan warga negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu tiga ratus (300) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia.
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia.
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l. Anak yang lahir di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan iobu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang Status Anak Warga Negara Indonesia menyatakan:
1. Anak warga negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebelum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.

2. Anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.





Adapun tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut:
1. Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaran ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
2. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampakan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin.




7. Hubungan Negara dengan Warga Negara
Hubungan negara dan warga negara ibarat ikan dan airnya. Keduanya memiliki hubungan timbale balik yang sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan konstitusi, mialnya berkwajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Negara juga berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam beragama sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sebagainya.
Kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak akan dapat berlangsung dengan baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk pelaksanaan kewajibannya sebagai warga negara. Warga negara berkewajiban membayar pajak dan mengontrol jalannya pemerintahan baik melalui mekanisme kontrol tidak langsung (melalui wakilnya di lembaga perwakilan rakyat: DPR, DPRD) maupun secara langsung (melalui cara-cara yang demokratis dan bertanggung jawab).

8. Hubungan Agama dengan Negara: Kasus Islam
Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para pakar Muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri.


Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-Qur’an (Q. S. 57: 25) yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang gaib (daripadanya)”.
Ahmad Syafi’I Ma’arif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surat al-Hasyr (Q. S. 59: 7), tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Menurut Mohammad Husein Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan yang baku. Hubungan Islam dan negara modern secara teoretis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan sekularistik.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hamper sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Pola hubungan integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-agama, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Arab Saudi dan penganut paham Syi’ah di Iran.


2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigm simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama di atas. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigma ini.

3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan negara Islam. Negara Turki modern dapat digolongkan ke dalam paradigma ini.



9. Hubungan Negara dengan Agama: Pengalaman Islam di Indonesia
Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler pada 1930-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada  kurun-kurun selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili masing-masing oleh tokoh nasionalis Muslim Mohammad Natsir dan Soekarno dari kelompok nasionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaksnya pada persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada tahun 1945. Usulan menjadikan Islam sebagai konsep negara dari kelompok nasionalis Muslim bersandar pada alas an sosiologis bangsa Indonesia. Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alas an mereka menolak konsep negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim.
Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawaan Indonesia Timur. Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka  mendirikan negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Klimaks dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dngan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Catatan Singkat Pergumulan Islam:
Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan negara di Indonesia: Pada kurun antara 1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlementer, ketegangan Islam dan negara kembali tertuang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam. Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hamper rampung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsungdari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan sengit antara partai-partai politik harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 di bawah sistem Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Sistem Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto.




Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letnan Jenderal Soeharti ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan oleh sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jenderal A. H. Nasution pada 1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

10. Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonis ke Akomodatif
Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonis dan akomodatif. Hubungan antagonis merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan akomodatif menujukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Sebelum mencapai pola akomodatif, menurut  Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kirtis, yakni awal dimulainy6a penurunan ketegangan antara agama dan negara di Indonesia. Hubungan antagonis antara negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang dilakukan Presiden Soeharto. Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan umat Islam yang berbeda.



Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto. Menurut Effendy, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik Islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.
 Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga menurut Affan Gaffar ditenggarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila.

11. Islam dan Negara Pasca-Orde Baru: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa
Dalam konteks konsolidasi ddemokrasi setelah lengsernya Orde Baru yang otoriter, umat Islam seyogianya memandang dan menjadikan kesepakatan (agreement) di antara kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara NKRI. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai komitmen suci para pendiri bangsa yang harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa.
Konsep NKRI dan Pancasila dengan kebhinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan pengembangan ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keindonesiaan. Keberadaan elemen-elemen demokrasi harus didorong menjadi kekuatan vital bagi proses demokratisasi di Indonesia dan penjaga empat consensus kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebih-lebih menggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan terror terhaap aparat hukum. Tentu saja, sikap destruktif juga sangat bertentangan dengan ajaran semua agama dan ideologi Pancasila.
Dengan ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya, adalah dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Dua komponen ini memiliki peluang yang sama untuk menjadi komponen strategis dalam pembangunan masa depan Indonesia, pembangunan masa depan demokrasi Indonesia.
Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karenanya, bersandar pada komitmen kebangsaan ini adalah sangat tidak relevan, bahkan ahistoris, jika dijumpai segelintir individu maupun kelompok dalam umat Islam yang hendak mengusung gagasan atau ide negara agama. Hal ini selain tidak sejalan dengan prinsip kebhinekaan dan demokrasi, tetapi juga mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang di antara mereka adalah para tokoh umat Islam





C. Penutup
Kesimpulan:
Negara dapat diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat yang memiliki tujuan-tujuan, unsur-unsur, serta ada beberapa teori dalam pembentukannya. Negara pun memiliki 2 bentuk, yaitu negara kesatuan dan negara serikat.
Dalam kehidupan bernegara pun tidak lepas hubungannya dengan agama yang dimana peraturan-peraturan agama dapat masuk ke dalam sistem pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama juga berhubungan dengan warga negara yang ada dalam suatu negara tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Ubaedillah, Abdul Rozak. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan: Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. (edisi revisi). Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Kreatif. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Klaten: Viva Pakarindo.
Negara, Agama, dan Warga Negara. Diunduh tanggal 4 Maret 2016, dari https://www.academia.edu/9838661/NEGARA_AGAMA_DAN_WARGA_NEGARA.
Pengertian Agama Menurut Para Ahli dan KBBI. Diunduh tanggal 4 Maret 2016, dari http://pengertian.website/pengertian-agama-menurut-para-ahli-dan-kbbi/ .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar