Pengikut

Rabu, 07 Desember 2016

islam dan globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam itu bertingkat-tingkat: Pertama, kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakan badan, dan aggota-anggota jasmani, seperti dalam Al-Qur’an QS: Al-Hujurat; 14. Kedua, Menjadikan diri sesuai atau sejalan secara lahir dan batin, sehingga tidak terjadi pertentangan zat. Pada amalnya, niatnya, dan hatinya, seperti Kamu tidak akan dapat memperdengarkan kepada mereka mereka (petunjuk) kecuali kepada orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, maka mereka itulah yang berserah diri (QS. Al-Rum; 53).
Ketiga, menghilangkan kontradiksi sama sekali. Baik dalam amal, niat, maupun eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada lagi eksistensi diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudra wujud Yang Haq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Pada tingkat ini tercerabutlah bekas kontradiksi itu dari akarnya. Yang tampak adalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepada Al-Haq yang Mutlak sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan penuh (QZ. Ali Imron; 19).
Makalah ini akan melihat bagaimana pola pemikiran Islam tersebut dan dampak yang ditimbulkan dari pencarian otentisitas itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu dijelaskan Islam dan Globalisasi yang mendasari pergolakan gerakan Pemikiran Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Islam dan Globalisasi ?
2. Apa yang dimaksud dengan Universalisme Islam ?
3. Apa yang dimaksud dengan Fundamentalisme ?
4. Apa yang dimaksud dengan Islam Ekslusif dan Inklusif ?

BAB II
ISI
A. Islam dan Globalisasi
Dari segi bahasa (etimologi) Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk kedalam kedamaian. Juga berarti memelihara dalam keadaan sentosa, menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.  Kata “salam” yang ma’rifat dengan “al” (al-salam) merupakan salah satu dari al-asma’ al-husna, nama yang  dikaitkan  dengan  Allah,  dan  oleh  karenanya,  memiliki  kesucian.  Oleh  karena  merupakan  istilah  yang  suci,  maka perdamaian merupakan sesuatu yang sudah selayaknya untuk disucikan.
Menurut Hanafi, karena kesucian perdamaian inilah, manusia tidak diperkenankan menggunakan istilah “salam’ untuk nama diri, kecuali dikaitkan dengan “Abdul” pada awalnya  sehingga  menjadi  Abdul  Salam.  Hal  ini  memberikan  implikasi  bahwa  seorang  muslim  itu  adalah  hamba  dari perdamaian,  yang  berkewajiban  mengimplementasikan  nama  suci  tersebut  ke  dalam  kehidupan  dan  mengarahkan perbuatannya  untuk  perdamaian.
Dalam  pengertian  agama  Islam,  Islam  berarti  kepatuhan  terhadap  kehendak  dan kemauan Allah SWT, serta taat kepada hukum dan aturan-Nya, atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdurrahman anNahlawi, Islam adalah aturan Allah yang sempurna yang mencakup berbagai bidang kehidupan, juga mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan sesamanya, dan alam semesta, atas dasar ketundukan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Pengertian Islam menurut bahasa dengan pengertian menurut istilah, yaitu hanya dengan kepatuhan dan ketaatan kepada  kehendak  Allah  dan  tunduk  kepada  hukum  dan  aturan-Nya.  Seseorang  dapat  mencapai  kedamaian  yang sesungguhnya dan memperoleh kesucian yang abadi. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 112:
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang dia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ajaran Islam tidak pula mengenal pemisahan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Kehidupan dunia merupakan sarana ibadah kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana Firman Allah:
“Maka carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (al-Qashash: 77).
Pada prinsipnya, Islam berisikan tata nilai yang menyeluruh, yang membuat manusia dijamin dapat mencapai tingkat kedudukan  yang  tinggi  dalam pandangan  Allah  SWT,  dengan  memanfaatkan  semua  potensi  yang  dimilikinya  yang merupakan anugerah dari Allah SWT. Tata nilai tersebut bisa dijadikan alternatif acuan di zaman globalisasi ini karena sifatnya yang universal dan fleksibel terhadap perubahan dan perkembangan.
Sedangkan kata globalisasi berasal dari kata ‘global’. Globalisasi (globalization) merupakan proses-proses menuju ke arah global. Arti global itu sendiri adalah menyeluruh atau menyatu, dari berbagai unsur menjadi satu. Globalisasi  merupakan  diskursus  yang  banyak  mengundang  perdebatan  masyarakat  dunia,  baik  yang  setuju  (pro) maupun yang anti (kontra). Mereka yang setuju pada umumnya berangkat dari pemahaman bahwa globalisasi adalah suatu keniscayaan sejarah yang harus diterima dengan lapang dada. Sementara itu, yang anti-globalisasi melihat pada akibat yang timbul dari globalisasi itu sendiri, terutama pengaruhnya yang destruktif bagi lingkungan hidup.
Di maksudkan dengan ungkapan ‘Islam, globalisasi, dan peradaban dunia’ adalah ingin menjelaskan persinggungan, pertentangan , atau juga persamaan di antara masing-masing muatan konsep di atas. Untuk itu perlu terlebih dulu dijelaskan masing-asing istilah tersebut.Islam merupakan Agama yang memiliki karakter sebagai berikut:
Agama yang menjanjikan keselamatan dunia-akhirat (Man aslama salima- Barang siapa yang menyerahlan diri (kepada Allah) maka ia akan selamat atau Barang siapa yang beragama Islam akan selamat).
Penyerahan diri seorang muslim tertuju kepada Allah Swt secara mutlak. Allah dikonsepsikan sebagai Tuhan yang Mutlak dan tak terbatas sehingga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata (walam yakun lahu kufuan Ahad)
Penyelamatan yang dijanjikan Oleh Islam sedemikian sempurna, komrehensif, global, dan amat mendetail.
Islam sebagai agama yang sempurna
Islam Menjelaskan segala sesuatu yang kesemuanya untuk keselamatan manusia
Tak ada sesuatu pun yang dibiarkan tidak diperhatikan ke dalam Islam
Tebaran penyelamatan Islam mencakup seluruh alam semesta, lebih dari sekedar globalisme
Meskipun lebih dari global, dalam waktu yang sama, Islam juga merupakan agama eksklusif ketika harus berhadapan dengan segala bentuk sekularisme, dan kebatilan, dari system ketauhidan yang murni.
Dalam hal-hal yang bersifat duniawi, sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip Islam di atas, umat Islam diberi kebebasan seluas-luasnya untuk bisa beradabtasi, berdialog, dan hidup berdampingan dengan isme-isme non Islam. Demikian sabda Rasul, “Antum a’lamu biamri dunyaakum” atau “antum a’lamu biumuuri dunyakum” (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu).
Globalisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Internasionalisasi (dari kedaerahan menuju kearah wilayah yang lebih luas)
Liberalisasi (faham menuju kearah serba bebas dan melepaskan norma-norma yang telah mapan, antara lain norma-norma agama – Islam).
Universalisasi (dunia telah menyatu, tak ada lagi yang menyekat antara wilayah satu dengan yang lain sebagai berkah kemajuan iptek, terutama teknologi telekomunikasi)
Westernisasi (arah peradaban dari dunia Timur menuju kea rah cultural dunia Barat yang bercirikan sekulariseme, individualisme, kapitalisme, liberalisme, danhedonisme).
Suprateritorialisme ( ruang-ruang sosialitas tak lagi dapat dipetakan jarak dan batas-batas wilayah. Dengan demikian dunia adalah satu wilayah).
Secara  prinsip,  globalisasi  merupakan  sebuah  proses  ‘penyatuan’  dunia,  yang  secara  perlahan,  tetapi  pasti  mulai menghilangkan  sekat-sekat  negara  dan  bangsa.  Proses  penyatuan  ini  melibatkan  manusia,  informasi,  perdagangan,  dan modal. Derasnya arus informasi yang masuk lintas benua telah menghilangkan halangan-halangan yang diakibatkan oleh batas-batas dimensi ruang dan waktu. Oleh karenanya, suatu peristiwa yang terjadi di belahan bumi akan segera bisa diketahui di belahan bumi lainnya.
B. Universalisme Islam
Istilah universalisme berasal dari bahasa latin, universum yang berarti alam semesta (the universe). Kata ini dibentuk dari kata sifat universalis yang berarti “umum, mencakup semua, dan menyeluruh”. Dalam bahasa inggris kata latin universalis menjadi universal. Kata universal ini dapat berarti konsep umum yang dapat diterapkan pada kenyataan, misalnya konsep kemanusisaan yang dapat di terapkan pada setiap manusia apapun status sosial, warna kulit, ras, dan agamanya.
Istilah universalis atau universal inilah yang menjadi asal kata universalisme yang mengusung paham universal, melihat semua manusia itu sama dan sederajat. Sebagai manusia, semua orang mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dan karena itu pula, tiap manusia di tuntut hidup, berperilaku, bertindak sebagaimana layaknya manusia, yaitu manusia yang mampu memanfaatkan akal dan budinya serta hidup dengan mempertimbangkan akal sehat,mampu mendengarkan bisikan suara hati, melibatkan kehendak baik dalam mengambil keputusan.
Universalisme Islam merupakan sebuah pemahaman yang berangkat dari fakta tekstual historis bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa, serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk  bangsa  tertentu  yang  beranggapan  bahwa  dialah  bangsa  terpilih,  dan  karenanya  semua  manusia  harus  tunduk kepadanya.  Meskipun  pada  awalnya  berada  di  dalam  tubuh  suatu  bangsa,  sekelompok  bangsa  atau  hanya  sekelompok  individu, ia adalah satu dalam arti, bahwa ia meliputi seluruh manusia. Oleh karenanya, berbicara secara Islam, tidak bisa ada tata sosial Arab atau Turki, Iran atau Pakistan ataupun Malaysia, melainkan satu, yaitu tata sosial Islam, walaupun tata sosial bermula dari negeri atau kelompok tertentu.
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran  Islam  yang  mencakup  aspek  akidah,  syari’ah,  dan  akhlak  (yang  seringkali  disempitkan  oleh  sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari’ah, yaitu menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Selain itu, risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa dikatakan sebagai tujuan dasar syari’ah, yaitu keadilan, ukhuwah, tafakkul, kebebasan, dan kehormatan.
Berikut berbagai manifestasi penting Universalisme Islam:
Kosmopolitanisme Kebudayaan
Universalisme dapat dilihat pada kosmopolitanisme kebudayaan yang ditawarkan, tempat ia tetap merespon dengan baik, dan mengakui eksistensi budaya-budaya lokal, yang pada kondisi-kondisi tertentu, malah terkadang dipandang sebagai bagian dari ajaran Islam. Islam menempatkan manusia pada posisi yang sejajar dalam tatanan peradaban global, sebagai ‘anak-anak’ Adam yang telah tercerai-berai, apa dan bagaimanapun dia, tidak akan mengubah status sebagai turunan Adam.
Pemahaman semacam itu, selain merupakan pancaran makna Islam itu sendiri, pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah) berdasarkan makna Islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip-prinsip itu  semua,  kosmopolitanisme  ‘budaya’  Islam  juga  mendapat  pengesahan  langsung  dari  kitab  suci  seperti  pengesahan berdasarkan  konsep-konsep  kesatuan  kemanusiaan  (wahdat  al-insaniyah)  yang  merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau tauhid). Kesatuan asasi umat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam firman-firman:
“Umat manusia itu tidak lain adalah umat yang tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka), jika seandainya tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang mereka perselisihkan itu akan diselesaikan (sekarang juga)”.
Atau pada ayat:
“Umat manusia itu dulunya adalah umat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang mereka perselisihkan…”
Para pengikut Nabi Muhammad Saw. diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan, dan dijadikan dasar mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari seluruh budaya umat Islam.
Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus batas-batas bangsa, ras, dan peradaban, tetapi tak bisa dinafikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan kuat yang mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal:
Pertama, Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Demikian juga mukjizat terbesar agama ini (al-Qur’an), didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas (al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan Arab sepanjang sejarah. Oleh karena itu, memahami dan menguasai al-Qur’an sangat sulit dengan bahasa apapun  selain  bahasa  Arab.  Implikasinya,  Islam  menuntut  pemeluknya  jika  ingin  menyelami  dan  mendalami  makna kandungan al-Qur’an, maka hendaknya ‘mengarabkan’ diri.
Kedua, dalam  menyiarkan  dakwah  Islam  yang  universal,  bangsa  Arab  berada  di  garda  depan,  dengan  pimpinan kearaban Nabi dan al-Qur’an. Kebangkitan realita Arab dari segi “sebab turunnya wahyu” dengan peran sebagai penafsir terhadap al-Qur’an dan lokasi dimulainya dakwah di Jazirah Arab sebagai garda depan dalam dakwah.
Ketiga, jika agama-agama terdahulu memiliki karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam lokal, kondisional, dan temporal, maka Islam mengandung dasar-dasar ajaran yang berlaku untuk semua tempat dan semua zaman. Ajaran Islam berlaku pada semua situasi dan kondisi, serta mengakui pengelompokkan alamiah manusia ke dalam keluarga, suku, dan bangsa  sebagai  pengaturan  yang  dikehendaki  Tuhan.  Akan  tetapi,  Islam  menolak  setiap  ultimisasi  dari  pengelompokan tersebut  sebagai  kriteria  final  dari  kebaikan  dan  kejahatan.  Di  atas  semua  manusia,  baik  individu  maupun  kelompok, berdirilah ketentuan hukum sebagai kenyataan bagi kebaikan dan kejahatan.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Keuniversalan Islam juga digambarkan oleh ilmu yang dikembangkan. Ulama zaman klasik, yaitu zaman antara abad ke-8 dan ke-13 M, mereka tidak hanya menguasai di bidang agama, tetapi juga merambah kepada keilmuan ‘sekuler’ (sains), seperti kedokteran, matematika, astronomi, kimia, optika, geografi, dan sebagainya. Nama-nama yang termasyhur dalam ilmu kedokteran ialah al-Thabari (abad IX), al-Razi (865-925), Ibnu Sina (980-1037 M.), dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M.). Selain Ibn Rusyd di Andalus atau Spanyol, Islam dikenal juga al-Zahrawi sebagai ahli bedah pada abad ke-19 M. Dari keturunan Ibn Zur muncul dokter perempuan.Dalam bidang matematika dikenal al-Hawarizmi (750-850 M), bapak ilmu aljabar.
Universitas-universitas didirikan di Dunia Islam. Ke sanalah mahasiswa-mahasiswa dari Prancis, Inggris, dan lain-lain datang menuntut ilmu yang dikembangkan ulama-ulama Islam itu. Di antara mahasiswa itu adalah Roger Bacon dan Michael Scott. Buku-buku karangan ulama Islam diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, dan Toledo menjadi pusat penerjemahan.
Penerjemah-penerjemah terkenal adalah Adelard Bath, Gerard Cremona, dan lain-lain. Pada penutup abad ke-13 M, filsafat dan sains yang dikembangkan ulama Islam itu telah berpindah ke Eropa. Akibatnya, renaisans pun timbul di benua itu. Dari sini bisa dilihat bahwa peran orang Islam sangat besar sehingga orang-orang Eropa memiliki peradaban. Merekalah yang menjadi guru orang Eropa selama enam ratus tahun.
Totalitas Tata Sosial
Universalitas Islam juga dapat dilihat pada tata sosial Islam yang totalis, dalam arti, bahwa Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Dasar tata sosial ini adalah kehendak Tuhan yang pasti relevan dengan setiap makhluk karena Tuhan  telah  memberikan  kepada  manusia  konstitusi,  struktur,  dan  fungsi.
Dalam  dimensi  fisik,  personal,  sosial  dan spiritualnya, manusia memiliki konstitusi anugerah Tuhan yang wajib dipenuhinya. Tidak satu pun dari kegiatannya yang lepas dari penentuan Tuhan, dan dia tidak bisa memproyeksikan suatu tujuan dalam upayanya di bidang apapun, yang tidak termasuk dalam kategori wajibhingga haramdalam syari’ah. Di samping itu, suatu tanda mentalitas yang telah berkembang dan sempurna adalah bidang yang diperbolehkan (mubah) paling banyak berisi hal-hal yang dibutuhkan dalam Islam.
Tata sosial yang paling baik sebagai konsekuensi dari kebenaran tersebut adalah tata sosial yang mengatur sebanyak mungkin aktivitas tata sosial Islam tidak hanya menyangkut aktivitas-aktivitas manusia dan tujuan-tujuannya di masa mereka saja.Ia mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat, dan juga semua manusia yang merupakan subjek dari aktivitas-aktivitas  tersebut.
Sementara  itu,  Islam  menganggap  bahwa  semua  umat  Islam  termasuk  dalam  program  pelaksanaan hukum.  Islam  juga  menganggap  orang-orang  bukan  Islam  sebagai  anggota  yang  memiliki  kemampuan  dan  harus diperhatikan. Dengan demikian, tidak ada akhir bagi tata sosial sepanjang kehidupan dan aktivitas di dunia ini juga belum berakhir.  Tugas  yang  harus  dijalankan  adalah  campur  tangan semua  pihak,  baik  manusia  sebagai  individu,  komunitas masyarakat, bahkan benda sebagai pelaksana-pelaksana kehendak Illahi.
Islam sebagai Acuan Tata Nilai yang Dinamis
Islam  sebagai  ajaran  agama  yang  universal  mampu  menjadi  tata  nilai  sebagai  acuan  bagi kehidupan  yang  serba berkembang dan dinamis, sekaligus menunjukan keagungan, keutuhan, dan keunikannya. Keunikan Islam dalam tata nilai tersebut dapat dilihat pada:
Pertama, syari’at Islam adalah tata nilai, aturan, dan norma ciptaan Allah SWT, yang mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Tata nilai tersebut dibuat sesuai dengan sendi umum kemanusiaan, baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran Islam yang bersumberkan wahyu Allah SWT dan fitrah manusia sebagai makhluk-Nya.
Kedua, seluruh tata nilai dalam ajaran Islam dimaksudkan untuk kesejahteraan agar manusia terpelihara agamanya, dirinya, akalnya, kehormatannya, dan harta bendanya. Ajaran Islam tidak pernah menyuruh, kecuali kepada hal-hal yang makruf, tidak pernah melarang kecuali yang mungkar, tidak pernah menghalalkan kecuali yang baik, dan tidak pernah mengharamkan  kecuali  yang  buruk. Al-Islam  minhaj  at-taghyir,Islam  adalah  agama  yang  menghendaki  perubahan, mengeluarkan manusia dari keadaan zhulumat menuju kehidupan yang penuh dengan nur. Tempat manusia  dihargai sebagai manusia yang mempunyai derajat dan kedudukan yang sama di hadapan Allah, yang membedakannya hanyalah ketakwaan kepada-Nya.
Ketiga, syumuliyah, yaitu mencakup semua segi kehidupan manusia. Ia adalah ajaran yang berkaitan dengan sistem keyakinan, aturan, moral, pemikiran, ilmu pengetahuan, nilai-nilai kemanusiaan, hukum, sistem keluarga, serta hubungan antarmanusia,  yang  saling  berhubungan  dan  tidak  terpisahkan  satu  dengan  yang  lainnya.  Unsur-unsurnya  disusun sedemikian rupa, mencakup seluruh segi kehidupan, melengkapi segala kebutuhan, dan melindungi segala kegiatan. Dalam lingkup ini, prinsip tauhid merupakan prinsip yang pertama agama Islam, dan prinsip segala yang Islami. Allah itu tunggal secara mutlak dan tertinggi dan secara metafisis dan aksiologis. Dia adalah Sang Pencipta, yang dengan perintah-Nya, segala sesuatu  dan  peristiwa  terjadi.  Ia  kemudian  menjabarkan  dari  prinsip  tauhid  ini  ke  kesatuan  alam  semesta,  kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia.
Keempat, tata nilai Islam itu tampil dalam bentuk prinsip-prinsip umum menyeluruh yang melahirkan gerak maju. Sejarah telah menunjukkan kepeloporan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan yang sejalan dengan peningkatan kualitas  kemanusiaan  itu  sendiri.  Penguasaan  peradaban  yang  tinggi  dilandasi  dengan  akidah,  persamaan,  keadilan, persaudaraan, serta nilai-nilai tinggi lainnya.
C. Fundamentalisme
Fundamentalisme Islam adalah fenomena baru dalam sejarah agama Islam. Fundamentalisme Islam muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme dan hegemono barat perlu diluruskan. Sebab kesimpulan semacam ini seakan memberikan angin segar bagi ketertindasan. Dan bangkitnya gerakan-gerakan radikal sebagai bentuk kelompok Islam lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertindasan yang mereka alami. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah bentuk gerakan pembebasan, hal ini perlu dilakukan untuk menghilangkan kesan negatif yang merusak citra Islam itu sendiri.
Maraknya terorisme dan radikalisme yang berasal dari fundamentalisme Islam membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra Islam yang baik, damai, dan mengayomi semua umat manusia. Lalu dibuatlah sebuah teori bahwa fundamentalisme Islam tidak ada hubungannya dengan Islam itu sendiri. Fundamentalisme Islam adalah fenomena baru yang muncul pada abad 19 atau 18, fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap tatanan kehidupan yang lebih global saat ini.
Jika kita melihat serangkaian aksi teror bom yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, maka sepertinya target utama yang mejadi incaran sudah nampak jelas. Dari bom yang terjadi di Bali, hotel JW Mariot, kedubes Australia, JW Mariot dan Ritz Carlton sampai merebaknya aksi teror di Aceh, menunjukkan sesuatu tandensi untuk menjatuhkan korban dari pihak asing serta mengganggu konsep yang dimiliki oleh kelompok fundamentalis yang menghendaki adanya sebuah negara dengan sebuah konsep pemerintahan yang berdasarkan kepada kedaulatan Tuhan.
Dari keagamaan yang berkembang pesat saat ini, kaum fundamentalis memang terkesan konservatif dan selalu dengan masa lampau, meskipun ide-ide mereka sebenarnya adalah sangat modern dan inovatif. Bila kita mengacu pada terjemahan harfiah “Fundamentalis” ke dalam bahasa Arab, maka artinya ushulliyah, sebagai sebuah kata yang merujuk pada sumber-sumber sebagai aturan dan prinsip dalam hukum Islam.
Jika kemudian kita mengaitkan kembali relasi antara agama dan terorisme, mungkin tidak juga seratus persen salah. Hal ini disebabkan masih adanya kelompok fundamentalis yang sejatinya merupakan sekelompok religius yang masih cenderung melakukan pemberontakan.
Kecenderungan umat Islam yang lainnya adalah fundamentalisme. Istilah fundamentalisme untuk pertama kalinya digunakan oleh kelompok penganut agama Kristen di Amerika untuk menamai aliran  pemikiran keagamaan yang menafsirkan kitab suci mereka secara tekstual dan rigid. Umumnya kelompok seperti ini lahir sebagai reaksi terhadap gerakan modernisme, karena kelompok modernisme cenderung menafsirkan kitab suci secara bebas dan elastis dan disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi yang telah berkembang yang seringkali berakibat agama menjadi terpinggirkan.
Istilah “Fundamentalisme Islam” atau “Islam Fundamentalis” ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang ‘dituduhkan’ oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan memberikan gambaran yang ‘negatif’ terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas mereka di mata dunia.
Istilah fundamentalisme dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut berasal dari barat dan berisikan pengertian dengan tipologi barat pula. Sementara, istilah ‘ushulliyah’ dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang. Dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentang gerakan salafiyah Jamaluddin Al-Afghani dimana kata tersebut tidak memiliki padanan kata yang tepat di Eropa, maka digunakanlah istilah yang sudah cukup akrab, yaitu fundamentalisme.  
Tuduhan terhadap agama yang tidak hanya membawa misi perdamaian, tetapi juga misi kekerasan sulit untuk ditolak manakala menyaksikan bahwa agama seringkali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama. Hal tersebut dimanfaatkan oleh barat untuk melakukan tuduhan-tuduhan dan propaganda atas Islam dengan memberikn label ‘radikalisme Islam'. Secara harfiah ekslusif berasal dari bahasa Inggris, “exclusive” yang berarti sendirian, dengan tidak disertai yang lain, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Sikap eksklusif yaitu yang menganut pandangan tentang sikap tertutup dengan beragama dan tidak mau menerima klaim kebenaran dari agama lain.
Agama Islam diyakini sebagai agama yang paling benar sedangkan agama lain dianggap sesat dan tidak akan diterima Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut:
13. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur), segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai hati.
Dalam rangka kontekstualisasi agama, interpretasi merupakan suatu kebutuhan (Necessity).  Persoalan yang seringkali muncul manakala interpretasi tersebut  mengarah pada adanya truth claim, yang mengakibatkan adanya sikap pelecehan kebenaran agama-agama lain (bersifat eksklusif) permasalahan diatas sebenarnya tidak akan terjadi manakala terdapat pendewasaan dalam beragama, yang tercermin pada adanya sikap yang demokratis dalam beragama.
Sikap inklusif merupakan sebuah sekumpulan orang yang menganut pandangan bahwa semua agama-agama yang ada memiliki kebenaran dan keselamatan bagi para penganutnya. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat.
Sebagaimana inti ajaran Al-Qur’an, selain memerintahkan penegakan keadilan dan eliminasi kezaliman, juga meletakkan pilar-pilar yang diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama, karena manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah:  “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya: dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa : 1 )
D. Islam Ekslusif dan Inklusif
1. Pengertian islam Eksklusif dan Inklusif
Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk didalamnya” dan “tidak termasuk didalamnya/ terpisah”.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksklusif berarti “terpisah dari yang lain”. Sedangkan inklusif berarti “termasuk, terhitung”. Sedangkan Islam eksklusif dan inklusif menurut DR. K.H. Didin Hafidhuddin, M,Sc. "Islam merupakan agama yang sangat inklusif, dan bukan merupakan ajaran yang bersifat eksklusif. Tapi inksklusifitas yang bermaksud perbedaan agama yang di pahami oleh kelompok liberal", Inksklusifitas islam yang dimaksud adalah agama yang universal dan dapat diterima oleh semua orang yang berakal sehattanpa memperdulikan latar belakang, suku bangsa, setatus sosial dan atribut keduniawian lainya.
Islam inklusif merupakan sekumpulan orang yang menganut pandangan bahwa semua agama-agama yang ada, semuanya memiliki kebenaran danmemberikan manfaat dan keselamatan bagi para penganutnya, sebagaimana di Indonesia banyak terdapat beraneka ragam agama yang diakui dan banyak penganutnya. Dalam artian lain bahwa, Islam inklusif mempunyai pandangan bahwa agama-agama yang ada di sekeliling kita semuanya memiliki kebenaran yang sama, yaitu sama-sama mempunyai tujuan yang sama yaitu kepada Allah. Hanya saja cara menuju kepada Allah yang berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.
Islam inklusif merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama dan dengan berhubungan dengan agama non muslim. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Teologi inklusifisme ini dilandasi dengan toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerjasama.
Meskipun umat Islam diharuskan untuk meyakini bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar, namun Islam melarang untuk merendahkan agama lain. Apalagi menyakiti penganut agama non Islam. Sikap merendahkanpenganut non muslim justru akan menunjukkan bahwa agama Islam bukan agama yang mulia. Nabi Muhammad SAW, merupakan sebuah suri tauladan yang baik yang layak dijadikan panutan dalam konteks ini. Dalam kehidupan beliau sebagai pememimpin masyarakat Madinah, sikap toleran terhadap umat yang lainnya merupakan ciri dari kepemimpinannya.Bukan aroganis teoligis yang beliau tunjukkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, melainkan ajaran untuk sama-sama membangun masyarakat dan melindungi Negara dari ancaman musuh.
Sedangkan sikap eksklusif yaitu yang menganut pandangan tentang sikap tertutup dalam beragama, dan tidak mau menerima klaim kebenaran dari agama lain. Sebagai contoh dalam agama Islam, hanya mengakui bahwa hanya Islam yang menjadi agama paling benar dibandingkan dengan agama lain. Teologi eksklusif mendorong penganutnya untuk menutup diri terhadap relasi sosial dengan pemeluk agama lain. Teologi ini didasari bahwa agama non muslim itu sesat, jahat, dan ingin merusak agama Islam, pandangan seperti ini mereka ambil dari QS. Albaqoroh (2):113:
"Dan orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak memiliki seuatu (pegangan)", dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, "orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan)," Padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu.Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan.”
2. Ciri-ciri Islam Eksklusif dan Inklusif
Fatimah Husein dalam buku “Muslim-Chritian relation in the new order indonesia: the exclusivist and inclusivist muslim.” Mengemukakan ciri-ciri kaum eksklusif, diantaranya adalah :
a. Mereka yang menerapkan model penafsiran literal terhadap al-qur‟an dan sunah dan masa lalu karena mengunakan pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang sentral kerangka berfikir mereka.
b. Mereka berpendapat bahwa keselamatan yang bisa dicapai melalui agama Islam. bagi mereka, Islam adalah agama final yang datang untuk mengoreksi agama-agama lain. Karena itu mereka menggugat otentisitas kitab suci agama lain.

Sedangkan yang dimaksud kaum inklusif, memiliki ciri:
a. Karena mereka memahami agama islam sebagai agama yang berkembang, maka mereka menerapkan metode kontekstual dalam memahami al-qur‟an dan sunah, yang memerlukan teks-teks asas dalam Islam dan ijtihad berperan sentral dalam pemikiran mereka.
b. Kaum inklusif memandang, Islam adalah agama terbaik bagi mereka, namun mereka berpendapat bahwa keselamatan di luar agama Islam adalah hal yang mungkin.
3. Latar Belakang Munculnya Islam Eksklusif dan Inklusif
a. Latar belakang munculnya Islam Eksklusif
Banyak faktor yang menjadi latar belakang penyebab timbulnya paham ekslusif. Diantaranya sebagai berikut:
a) Doktrin ajaran. Harus diakui bahwa sungguhpun pada mulanya agama agama selain islam seperti yahudi, dan nasrani berasal dari tuhan, namun dalam sejarahnyaagama-agama ini sudah tidak memelihara kemuriannya lagi. Kedalam agama-agama tersebut telah masuk unsure bid’ah, khufarat dan tahayul.Misalnya, pada mulanya agama ini mengakui bahwa yang wajib disembah hanyalah Allah.namun dalam perkembangan selanjutnya mereka mengganti doktrin Tuhannya dengan trinitas. Kemudian dalam ajaran agama hindu,  keyakinan kepercayaan terhadap binatang-binatang tertentu yang dinggap keramat dan sebagai penjelmaan dari Tuhan. Dengan menunjukkan contoh-contoh tersebut dapatlah dimaklumi jika kemudian orang-orang islam ada yang mengambil sikap hati-hati terhadap kemungkinan tercampurnya agama islam dengan ajaran agama lain.
b) Faktor Wawasan yang sempit. Paham yang mengartikan Islam sebagai agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saja dan bukan islam dalam pengertian missi kepatuhan dan ketundukan serta keikhlasan beribadah Allah.akibat dari paham demikian mereka hanya menghormati agama yang dibawa nabi Muhammad saja dan tidak menghormati agama-agama yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Demikian pula sikap yang hanya mengetahui satu madzhab atau aliran saja dalam aliran teologi, fiqih, tasawuf dan sebagainya dalam islam, dapat pula menyebabkan timbulnya sikap ekslusif karena karena menganggap madzhab dan aliran yang dianutnyalah yang paling benar.
c) Faktor Kesempurnaan ajaran Islam. Berdasarkan petunjuk surat al-maidah ayat 3 bahwa ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. Sebagai ajaran yang menyempurnakan ajaran atau misi Islam yang dibawa oleh para nabi sebelumnya.Kesempurnaan aajaran Islam juga dapat dilihat dari sikapnya yang memandang manusia secaraa wajar yakni melakukan manusia sesuai dengan potensi fitrah kemanusiaannya.Secara fitrah manusia mmerlukan makan, minum, tempat tinggal, pakaian, dan sebaginya. Fitraah manusia terhadap seluruh aspek kehidupan tersebut sangat diperhatikan dalam ajaran Islam sebagaimana diinggung dalam surat al-rum ayat 30. Engan melihaat ajaran Islam yang smpurna dan sesuai dengan fitrah manusia itu, mka timbul anggapan/sikap yaang tidak merasa perlu lagi belajar atau mengetahui agama lain. Malah sebaliknya penganut agama-agama lainlaah yang seharusnya masuk ke agama Islam.
d) Faktor sejarah. Sejarah mencatat bahwa antara umat muslim dan nasrani pernah terlibat perang salib yang berlangsung selama tiga periode dari tahun 1095-1292 atau kurang lebih dalam kurun waktu tiga abad. Bagi umat islam peperangan tersebut menyebabkan pula pula timbulnya kelemahan daalam bidang politik , sejumlah karya tulis dan harta pussaka banyak yang dirampas kaum nasrani. Selanjutnya sejarah juga mencatat bahwa antara kaum muslimin dan nasrani di spanyol pernah konflik ketika umat muslim berkuasa disana, setelah kurang lebih 700 tahun umat Islam berkuasa di spanyol,  akhirnya terusir dri Negara tersebut dengan cara yang sangat kejam. Selain itu, sejarah juga menulis bahwa antara umat Islam dan hindu pernah terjai konflik yaitu ketika umat Islam berkuasa di India zaman kerajaan mughal kurang lebih selama tiga abad. Banyak umat Islam yang ditindas oleh umat hindu ketika berada di sana. Berbagai peristiwa sejarah yang sebagaimana disbutkan, masih belum hilang dri ingatan umat Muslim.Hal itu seanjutnya dapat mengganggu hubungan antara umat muslin dengan penganut agama lainnya. Hal demikian diperparah lagi oleh  sebagian umat nasrani yang dalammelaksanakan misi dakwahnya sering menggunakan berbagai cara yang kurng jujur sepertimembujuk orang-orang Islam yang lemah ekonominya, daan sebaagainya.
Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa munculnya ekslusifime bukanlah sepenuhnya berasal dari doktrin ajaran Islam itu sendiri melainkan karena factor-faktor yang bersifat non ajaran.

b.      Latar belakang timbulnya islam Inklusif
Asal mula perkembangan istilah Islam inklusif karena tidak dikenal dalam tradisi keilmuan islam, istilah teologi inklusif sekarang diterjemahkan ke dalam bahasa arab menjai al-lahut al-munfatih, maka kita bisa menelusuri perkembangan istilah ini pada perkembangan pemikiran agama dalam Kristen. Sejak berakhirnya konsili vatikan II  (1962-1965), dimana katolik roma melakukan perubahan konsep teologinya, dari ekslusif (dengan jargon terkenalnya, extra eccelesiam nulla salus) menjadi teologi inklusif.
Kajian kritis yang mendalam tentang sejarah, konsep dan fenomea kontemporer terhadap kkristenan dan agama agama lain diperlukan agar tidak mudah melakukan generalisasi dalam memandang agama. Banyak ilmuan agama di barat yang kmudian mengembangkan metodologi studi agama dengan menyamaratakan semua agama dan menempatkan islam dan sebagai objek kajian yang posisi dan kondisinya seolah-olah sama dengan agama agama lain. Buku – buku metodologi studi agama semacam ini sekarang menjamur di lingkungan perguruan tinggi padahal banyak teori-teori metodologi studi agama itu lahir dari latar belakang yang khas sejarah Kristen dan peradaban barat yang tidak begitu saja di aplikasikan untuk studi terhadap islam. Istilah tersebut yang kemudian dikembangkan yang sebenarnya khaskristen dan sesuai dengan tradisi barat yang traumatic terhadap agama dan tidak tepat diterapkan untuk islam.
Para musafir di abad klasik misalnya, termasuk kedalam kelompok yang menentang ilam inklusif dengan berdasar pada dalil Al-quran sebagai berikut :
- (Qs Al-baqarah ayat 62)
- (Qs Al-imran ayat 85)
- (Qs-al imran ayat 19 )
Ahli tafsir abad ke-10 al-thabari mengatakan bahwa keselamatan dari Allah tersebut harus bersyaratkan tiga hal : 1) beriman kepada Allah, 2) percaya kepada hari kemudian, 3) berbuat baik. Syarat beriman itu termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad saw. Dengan kata lain yang dimaksudkan ayat 62 surat al baqarah adalah mereka yang telah memeluk islam. Sementara ahli tafsir abad ke -12 fakhruddin al-razi memperkuat pendapat tersebut bahwa ketiga syarat sebagaimana tersebut dalam surat al-baqarah ayat 62 tersebut tidak lain adalah essensi ajaran islam. Demikian pula ibn katsir (abad ke-14) menyatakan bahwa berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan ibn abbas yang menyatakan bahwa kandungan ayat 62 surat al-baqarah yang berisi kesamaan ajaran islam, yahudi, nasrani dan shabiin tersebut diatas elah di nasakh (dihapus/diganti) oleh kandungan ayat 85 surat al-imran yang menyatakan bahwa hanya agama islamlah sebagai agama yang diterima dan diridhai Tuhan. Semua pendapat ini mengarah pada pendapat islam yang ekslusif. Selanjutnya, ath thabathabai lain penafsirannya.Baginya Allah tidak memandang pada agama tertentu, tetapi yang terpenting adalah substansi dan essensi yang terkandung dalam agama itu. Selain itu ia mengatakan bahwa selama tiga syarat yang terkanung dalam ayat 62 surat al-baqarah tersebut terpenuhi, janji keselamatan dari Tuhan itu terlaksana. Pendapat tersebut dapat pula dijumpai pada tulisan-tulisan fazlur rahman dan yang sejalan degannya, khususnya mereka yang berusaha untuk menunjukan semangat inklusifisme Islam. Pandangan-pandangan ulama’ yang datang belakang tersebut tampak bercorak inklusif berbeda dengan pendapat para mufasir terdahulu yang bercorak islam ekslusif


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Islam menurut bahasa dengan pengertian menurut istilah, yaitu hanya dengan kepatuhan dan ketaatan kepada  kehendak  Allah  dan  tunduk  kepada  hukum  dan  aturan-Nya. Sedangkan Sedangkan kata globalisasi berasal dari kata ‘global’. Globalisasi (globalization) merupakan proses-proses menuju ke arah global. Arti global itu sendiri adalah menyeluruh atau menyatu, dari berbagai unsur menjadi satu.
Universalisme Islam merupakan sebuah pemahaman yang berangkat dari fakta tekstual historis bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa, serta untuk semua lapisan masyarakat.
Fundamentalisme adalah bentuk gerakan pembebasan, hal ini perlu dilakukan untuk menghilangkan kesan negatif yang merusak citra Islam itu sendiri.
Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk didalamnya” dan “tidak termasuk didalamnya/ terpisah”.
B. Saran
Diharapkan pada pembuatan makalah selanjutnya lebih bagus lagi dan juga dapat bermanfaat bagi pembaca

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin,. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Faruqi, al, Isma’il Raji. 1988. Tauhid.Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Habibullah, M.2002. “Universalisme Dan Kosmopolitanisme Dalam Budaya Islam”. Tajdid. Volume XI. No.2
Hafidhuddin, Didin. 1998. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani.
Hanafi, Hassan. 2002. Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer.Terj. Ahmad Najib. Yogyakarta: Jendela.
Imarah, Muhammad.1996. Al-Islam wa al-Urubah. al-Haihal al-Mashriyyah al-‘Ammah lil Kitab.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Qardhawi, Yusuf. 1993. Madkhal li al-Dirasat al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Syuruq.
Rahman, Budhy Munawar (ed). 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina
Sholeh, Shonhaji, Et.Al,. 2010. Pengantar Studi Islam. Surabaya: Sunan Ampel Press
http://naimatussyadiyah.blogspot.co.id/2015/05/makalah-metodologi-studi-islam-islam.html
http://uimmpi.blog.com/files/2013/03/ISLAM-EKSKLUSIF-DAN-INKLUSIF.pdf
http://neti2512.blogspot.co.id/2015/10/islam-dan-gagasan-universal.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar