Pengikut

Jumat, 17 Maret 2017

makna ma'rifat

MA’RIFAT
MATA KULIAH AKHLAK TASAWUF
DOSEN PENGAMPU
Moh. Mashudi, M. Pd. I
 
Penyusun:
Anggota Kelompok 9 TMT 3A
1. Lutfi Wardati (17204153009)
2. Umi Khulsum (17204153013)
3. Siti Zulaika (17204153029)
4. Intan Fatmawati (17204153035)
5. Winda Nuri Purwatiningsih (17204153036)

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH & ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
TAHUN AJARAN 2016/ 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Diharapkan dengan disusunnya makalah ini, pembaca mengetahui tentang  MA’RIFAT. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami Bapak Moh. Mashudi, M.Pd.I selaku dosen yang telah membimbing serta memberi pengarahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses penyelesaian makalah ini.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyajikan informasi yang akurat pada saat makalah ini di buat, namun tidak mustahil masih ada kekurangan dan kelemahan. Jika terdapat informasi atau data yang kurang tepat atau kurang lengkap penyajiannya,  pembaca dianjurkan merujuk kesumber asli informasi tersebut. Kami juga mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif untuk dijadikan masukan dalam penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.




Tulungagung, 5 November 2016

     Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ma’rifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah SAW.  Kata ma’rifat yang secara khusus menjadi konsep spiritual Islam di dalam al-Qur’an memang tidak ditemukan secara harfiah. Akan tetapi dapat digali makna ma’rifat yang menjadi inti kesufian dari subtansi berbagai pesan dalam al-Qur’an. Kata yang berakar dari ‘arafa dalam keseluruhan al-Qur’an disebutkan sebanyak 71 kali.  Dari 71 kali penyebutan itulah dapat diketahui bahwa ma’rifat dalam term al-Qur’an memiliki banyak arti: mengetahui, mengenal, sangat akrab, hubungan yang patut, hubungan yang baik, dan pengenalan berdasarkan pengetahuan mendalam. Maka jika semua pengertian itu dihimpun dalam satu pengertian, ma’rifat menurut subtansi al-Qur’an memiliki maksud sebagai pengenalan yang baik serta mendalam berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh dan rinci. Sebagai buah dari hubungan yang sangat dekat dan baik. 
Ma’rifat merupakan pengetahuan eksperensial (zauqi) yang disuntikan (infused) sangat berbeda dengan pengetahuan lainnya yang biasa didapatkan melalui metode rasional diskursif.  Ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau simbol-simbol dari objek-objek penelitian. Seperti indra menangkap objeknya secara langsung, demikian juga hati atau intuisi menangkap objeknya juga secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Kalau objek indra adalah benda-benda yang bersifat indrawi (mahsusat) sedangkan objekobjek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengetahuan ini manusia mengalami objek-objeknya secara langsung, dan kerena itu ma’rifat disebut dengan ilmu eksperensial, yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahsi). Ma’rifat tidak dapat diraih melalui jalan indrawi karena menurut Rumi, hal itu seperti halnya mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut dari darat. Ma’rifat juga tidak bisa diperoleh dari lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba air laut untuk mendapatkan mutiara itu. Untuk mendapatkan mutiara ma’rifat, seseorang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung, dengan kata lain butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan Rumi mengingatkan bukan hanya sekedar penyelam ulung, tetapi juga beruntung, yakni bergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. 
Salah satu perbedaan antara ma’rifat dan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung dan berfikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis. Jadi, manusia betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh objek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak yang tercela.  Salah satu contoh historis dalam pencarian pengetahuan ma’rifat adalah yang dilakukan pemikir sekaligus sufi besar yakni Imam al-Ghazali (w. 505 H). 
BAB II
PEMBAHASAN
MA’RIFAT
A. Pengertian
Istilah ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifat”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah SWT ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
1. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ الْقَلْبِ بِوُجُوْدِ الْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتَّصِفًا بِسَائِرِ الْكَلِمَاتِ
Artinya: “Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
2. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْع الْحَقِّ , وَهُوَ الْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi)... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
3. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السَّكِيْنَةَ فِى الْقَلْبِ كَمَا اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السُّكُوْنَ , فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya: “Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam alat pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifat yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhannya ketika mencapai tingkat Ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawim mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandangnya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Tahapan-tahapan yang harus dilalui Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf: pertama, Syari’at; kedua, Tarikat; ketiga, Hakikat; keempat, Ma’rifat. Keempat tahapan ini harus dilaluinya secara berurutan. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.
B. Alat untuk Ma’rifat
Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma’rifat melalui jalan yang ditempuh dengan menggunakan suatu alat. Alat yang digunakan untuk ma’rifat telah ada dalam diri manusia di antaranya:
1. Sir(اَلسِّرُّ)fungsinya untuk melihat Tuhan.
2. Qalb (اَلْقَلْبُ)  fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan.
3. Ruh  (اَلرُّوْحُ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan Ruh lebih halus dari Qalb. Qalb selain alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya Qalb dengan Aql ialah kalau Aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetatpi Qalb dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahu rahasia-rahasia Tuhan, yaitu saat hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
Posisi Sir bertempat di dalam Ruh. Dan Ruh sendiri berada di dalam Qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila Qalb dan Ruh benar-benar suci, kosong dan tidak bersisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya (orang Sufi) yang dilihat hanyalah Allah SWT.
Proses sampainya Qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan dengan konsep Takhalli, Tahalli, Tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui tobat, selanjutnya Tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
... فَلَمَّا تَجَلّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكَّا وَخَرِّ مُوسَى صَعِقًا ... (١٤٣)
“…Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan musa jatuh pingsan…” (QS. Al-A’raf, 7:143). 
Tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifat,  hal ini terjadi setelah terjadinya al-fana yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan, dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli ini adalah hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan. Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapat kita lihat dari isyarat sautu ayat surat An-Nur yang artinya:
“Cahaya diatas cahaya, Allah mengkaruniakan cahaya-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nur, 35).
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Dengan demikian ia dapat mengetahui apa-apa yang tidak bisa diketahui manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifat akan memperoleh hubungan langsung dengan Allah.
Pada kedudukan di atas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “ma’rifat”. Sifat dari ma’rifatTuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifatTuhan semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dekat dengan Tuhan. Namun untuk memperoleh ma’rifatyang penuh tentang Tuhan itu adalah suatu hal yang mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
C. Tokoh Sufi Ma’rifat dan Ajarannya
Al-Gazali mengakhiri masa petualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap beribadah dan tetap berbuat amal dimana saja dia berada. Tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khalayak ramai. 
Setelah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup petualangan yang bejalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbulah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kemudian datanglah panggilan yang ditunggu-tunggu itu. Perdana menteri Fahrul Mulk telah memintanya agar segera pulang ke Neisbur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang ditinggalkannya. 
Al-Gazali memangku jabatan Presiden Universitas dan memberi kuliah di sana. Kesadaran baru yang dibawanya bahwa faham sufi adalah prinsip yang sejati dan paling baik. Disebarkannya kepada segenap mahasiswanya.
Menurut al-Gazali ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan yaitu (A’rif)  tidak mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabbi” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir, ma’rifat  menurut al-Gazali juga memandang kepada wajah Allah SWT.
Sedangkan ma’rifat dan mahabbah menurut al-Gazali adalah tingkatan tertinggi bagi seorang Sufi. Dan pengetahuan ma’rifat lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal. 

Dasa-dasar Pemikiran Al-Gazali
a. Perjalanan tasawuf seseorang pada hakekatnya adalah usaha  untuk membersihkan diri dan menjernihkan hati secara berkesinambungan samapi mencapai musyahadah, oleh karena itusesorang yang mempelajari tasawuf wajib menempuh moral dan mendidik jiwanya juga membimbing akhlaknya yang terpuji dihadapan Allah maupun dihadapan manusia.
b. Antara Maqam dan Hal tidaklah berbeda dan hanya diketahui oleh perasaan batin masing-masing. Jika sudah mantap maka ia berada di Maqam, dan Hal selalu mengandung tiga unsur yaitu: Ilmu, Rasa, dan Amal. 
c. Hati adalah cermin yang sanggup menangkap ma’rifat ketuhanan. Kesanggupan hati tersebut terletak pada suci dan jernihnya hati itusendiri. Seandainya hatinya suci, maka akan menangkap ma’rifat, akan tetapi jika hatinya kotor maka akan lewat begitu saja.
d. Seseorang kalau sudah mencapai maqam musyahadah, maka ia tidak memandang selain Allah, dan tidak mengetahui selain Allah, yang dipandang dalam wujud hanyalah Allah dan ciptaan-Nya.
e. Hanya orang yang sudah memasuki dunia tasawuflah yang memiliki ilmu ukhasyafah untuk dapat memahami dengan baik dan sempurna.
D. Ma’rifat dalam Pandangan Al-Qur’an
Ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang Sufi. Dengan demikian ma’rifat berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.
Misalnya ayat yang berbunyi :
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (٤٠)
“ Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (Q.S An-Nur : 40)
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإِ سْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ ... (٢٢)
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membantu hatinya)…” (Q.S. Az-Zumar:22)

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat orang Sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Selanjutnya di dalam Hadits, Rasulullah SAW bersabda:

كنت خز ينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعر فوني

“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku.” (Hadits Qudsi)

Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ma’rifat dalam tasawuf berarti mengenal Allah SWT ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
2. Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma’rifat melalui jalan yang ditempuh dengan menggunakan suatu alat. Alat yang digunakan untuk ma’rifat telah ada dalam diri manusia di antaranya:Sir  (اَلسِّرُّ)fungsinya untuk melihat Tuhan, Qalb (اَلْقَلْبُ)  fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan, Ruh  (اَلرُّوْحُ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3. Tokoh sufi ma’rifat adalah Al-Gazali, Menurut Al-Gazali ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan yaitu (A’rif)  tidak mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabbi” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir, ma’rifat  menurut al-Gazali juga memandang kepada wajah Allah SWT.
4. Dari kedua ayat al-Qur’an yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwaajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.





DAFTAR PUSTAKA

http://risalahparasufi.blogspot.co.id/2010/08/puncak-pengabdian.html?m=1 11.28 1_11_2016
http://blackjack1994./2015/01/marifatdalamtasawuf_2.html?m=110.28(3-11-2016)
Mustafa, A. 2014. Akhlak Taswuf. Bandung: Pustaka Setia.
Mz, Labib. 2000. Kisah Perjalanan Hidup Tokoh Sufi Terkemuka. Surabaya: Tiga Dua.
Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
Renard, John. 2006. Mencari Tuhan Menyelami ke Dalam Samudra Ma’rifat. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Solikin, Muhammad. 2007. Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar. Jakarta: PT. Buku Kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar