Pengikut

Jumat, 17 Maret 2017

makna fana, baqa dan ittihad

BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Akhlak Tasawuf merupakan bentuk ilmu murni yang tergolong dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdandan tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini dibanding dengan bentuk lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk lahiri di dalamnya. Seorang calon sufi pertama kali harus mengikuti persiapan, ia harus mempuyai iman yang benar, menjauhi perbuatan yang mungkar, menjauhi dosa besar dan kecil kemudian menjalankan sunnah rasul yang terpuji[1]
Apapun bentuk pengertian dari tasawuf, seorang sufi, dan kemudian yang berhubungan denganfana’ dan baqa’ adalah seluruhnya ingin memperlihatkan bahwa kita takkan ada tanpa-Nya, dan salah satu bentuk dari perlihatan itu adalah menyebut diri mereka tidak ada kecuali dzat-Nya. Dan itu adalah seluruh bentuk pengagungan  kepada sang kholik yang terdapat dalam tingkat tertentu, mungkin dapat dikatakan bentuk pengagungan tingkat atas.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Fana, Baqa, dan Ittihad?
2.      Bagaimana biografi dari tokoh sufi Fana, Baqa, dan Ittihad?
3.      Apa saja ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjelaskan tentang pengertian dari Fana, Baqa, dan Ittihad.
2.      Untuk menjelaskan biografi dari tokoh sufi Fana, Baqa, dan Ittihad.
3.      Untuk menjelaskan ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami.

BAB  II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
1.    Fana
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu.[2] Fana’ (الفَنَاءُ) yang artinya hilang atau hancur. Atau dalam bahasa inggris diseppear, perish, annihilate. Sehingga dapat dipahami bahwa fana’  merupakan proses meghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.[3]Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri  atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri seseorang. Menurut pandangan lain, fana adalah bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat berarti pula hilangnya sifat-sifat yang tercela.[4]
Fana yang dicari orang-orang sufi ialah penghancuran diri yaitu “Fanaun nafsi” yang dimaksudkan dengan al-Fananun-Nafsi” ialah kehancurannya perasaan atau kesadaran atas tubuh kasar.[5] Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad(rusak). Fana’ artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda –benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaanya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak, Adapun artinya fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela. Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.

2.    Baqa
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.[6] Sedangkan kata Baqa’ (البَقَاءُ) artinya tetap. Terus hidup, dalam bahasa inggris  : to remain, persevere bahwa baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dan penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah. Proses penghancuran diri inilah di dalam Tasawuf disebut “fana”, yang diiringi oleh “baqa”.
Baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji. Namun fanayang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia, Menurut al-Qusyairi. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerusdan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau maqammenuju ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).

3.    Ittihad
Berbicara mengenai fana dan baqa maka erat hubungannya dengan Al-Ittihad, yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa adalah Ittihad.[7] Mustafa Zuhri mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan Ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baidlowi, yang dilihat hanya satu wujud. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang mencintai (Tuhan).[8]Dalam situasi Ittihad yang semacam itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Dalam situasi ittihad yang demikian itu seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, sesuatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat mengambil yang satu dengan kata-kata" Hai aku" (فيقول الواحدللاخرياانا)"Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan Aku".
Menurut al-Junaid, cerita tentang syahadat Abu Yazid masih simpan siur, karena dinukilkan oleh orang yang berbeda-beda, baik waktu dan tempatnya hingga setiap orang atau kelompok menukilkan hikayat Abu Yazid versi mereka masing-masing. Konsep ittihad ini, bagi yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan, tetapi bagi mereka yang berpandangan ekstrim pada agama itu dipandang sebagai kekufuran. Faham ittihad ini dapat mengambil bentuk wahdat al-wujud. Dan untuk mencapai wahdat al-wujudharus melalui prosesing fana' dan baqa'.
B.  Biografi Tokoh Sufi dari Fana, Baqa dan Ittihad
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agam Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada didaerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhana.[9] Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata kata ibunya, bayinya yang ada dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.[10]
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al- Bustami disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan fana dan baqa. Ia di lahirkan di Bistam, Persia 804 M. Beliau berasal dari lingkungan keluarga yang terhormat dan terpelajar. Ayahnya (Isa) adalah pemuka masyarakat di Bistam,[11] sedang ibunya dikenal sebagai penganut agama Majusi.
Abu Yazid atau Bayazid atau al-Bustami adalah seorang sufi yang sangat terkenal. Beliau adalah teman Zunun al-Misri. Beliau juga termasuk orang-orang yang dikatagorikan sebagai muthawassithu al-Mutashawwifin al-Amaliyin. Dia dianggap sebagai sufi yang paling tinggi maqam-nya dan kemuliaanya, bahkan kedudukan Bayazid di antara para sufi diibaratkan seperti jibril diantara para malaikat.
Pada mulanya Bayazid mempelajari fiqhi mazhab Hanafi, kemudian ia mendalami tasawuf terutama mengenai tauhid dan hakekat disamping pengetahuan tentang fana.
Abu Yazid pernah berkata "siapa yang tidak mempunyai guru maka imamnya adalah Syaitan", sehingga tidak mengherangkan kalau dalam pengembaraannya mempelajari tasawuf beliau telah berguru kepada 113 guru, kemudian ia sendiri menjadi sufi besar yang sangat terkenal. Bayazid meskipun dia seorang sufi besar, tetapi ia tidak meninggalkan tulisan atau bekas tangan sedikitpun.  Ucapan-ucapan atau ungkapan beliau, banyak dimuat dalam kitab-kitab klasik seperti: al-Risalat al-Qusyaeriyat, Thabaqat al- Shufiyat, Kasyf al-Mahjub, Tadzikirat al-Awliya' dan al-Luma'.
Abu Yazid meninggal di Bestam tahun 877 M. makamnya masih ada sampai sekarang dan banyak dikunjungi oleh orang dari berbagai negeri. Kuburnya berdampingan kubur al-Hujwiri, Nashir Khurasan dan Yaqut. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi, sekaligus tersimpan dalam file sejarah Islam.
Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu, Abu Yazid Al Bustami seorang tokoh sufi yang sangat zuhud dan dekat kepada Allah, yang mampu mengklai kedekatannya dengan Allah dengan statemen yang menyetarakan dirinya dengan Allah. Pokok-pokok ajaran tasawufnya adalah fana dan baqa’.Fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Selai itu adalah Ittihad. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.
Dalam memahami konsep tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.

C.  Ajaran-ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami
1. Fana dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya : “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[12] Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : “Permulan adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah. (Tetap dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.Akhirnya beliau berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”.
Ucapan-ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana’ antara lain : “Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayait(u).Di samping itu, Abu Yazid pernah berkata “Pada  suatu  ketika  aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,  makhluk-Ku  ingin  melihat engkau.  Aku  menjawab,  kekasih-Ku,  aku  tak ingin melihat mereka.  Tetapi  jika  itu  kehendak-Mu,  aku  tak   berdaya menentang-Mu.  Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,  mereka  akan  berkata,  telah  kami lihat  Engkau.  Tetapi  yang  mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[13]
Dalam  literatur  tasawuf  disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal  ini  juga  dialami  Abu  Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog  pun  terputus,  kata  menjadi satu,  bahkan  seluruhnya  menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab  melalui  diri-Nya  “Hai Aku.”  Ia berkata  kepadaku,  “Engkaulah  Yang  Satu.”  Aku menjawab, “Akulah  Yang  Satu.”  Ia  berkata  lagi,  “Engkau adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah Aku.” Yang  penting  diperhatikan  dalam  ungkapan  diatas  adalah kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi).   Kata-kata  bihi  -melalui  diri-Nya-  menggambarkan bersatunya Abu Yazid  dengan  Tuhan,  rohnya  telah  melebur dalam  diri  Tuhan.  Ia  tidak  ada  lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai Aku Yang  Satu”  bukan  Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam  arti  serupa  inilah  harus  diartikan kata-kata yang diucapkan lidah  sufi  ketika  berada  dalam  ittihad  yaitu kata-kata  yang  pada  lahirnya  mengandung  pengakuan  sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu  Yazid,  seusai  sembahyang subuh,  mengeluarkan  kata-kata,  “Maha  Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah.  Tiada  Allah  selainAku, maka sembahlah Aku.”[14]
Dalam  istilah  sufi,  kata-kata  tersebut  memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia  mengakui dirinya  Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada  permulaan  makalah  ini,  agar dapat  dekat  kepada  Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga  dari  syubhat.  Maka  dosa  terbesar tersebut  diatas  akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka  dalam  pengertian  sufi, kata-kata  diatas  betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah  yang  mengaku  diri-Nya  Allah  melalui lidah  Abu  Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, “Pergilah, tidak ada di rumah ini selain  Allah  Yang  Maha  Kuasa.  Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah.” Yang  mengucapkan  kata-kata  itu  memang  lidah  Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan  Abu  Yazid  bahwa  ia adalah  Tuhan.  Itu  adalah  kata-kata  Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[15]

 2.  Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[16] Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.[17]   Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.[18]
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.[19] Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.[20]
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami. Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.[21]Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur sedangkan baqa’ berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.[22]
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.[23]
Jadi fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi,ketika ia tentang diri dan lingkunganya lenyap. Sedangkan baqo`adalah keadaan spiritual seorang sufi ketika hijab antara diriny dengan Allah tersingkap.dan disini terjadi apa yang di namakan dengan mukasyafah (menyaksikan keagungan Allah), musyahadah (mengenalnya secara langsung), ma`rifah (terpesona oleh keindahan wajah Allah hingga merasa kekal bersamanya). Fana` dan baqa` merupakan ahwal bukan maqam jadi datang dan pergi semata karena pemberian Allah.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut :
“Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.”[24]Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.[25]Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam. Padahal Abu Yazid tidaklah seorang musrik atau kafir, akan tetapi ia adalah seorang wali Allah.







BAB  III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.         Pengertian Fana, Baqa, dan Ittihad
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu. Fana’ (الفَنَاءُ) yang artinya hilang atau hancur. Atau dalam bahasa inggris diseppear, perish, annihilate. Sehingga dapat dipahami bahwa fana’  merupakan proses meghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Sedangkan kata Baqa’ (البَقَاءُ) artinya tetap. Terus hidup, dalam bahasa inggris  : to remain, persevere bahwa baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dan penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah.
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai aku.

2.    Biografi Tokoh Sufi Fana Baqa Ittihad
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agam Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikkan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi.
Dalam memahami konsep tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.
3.    Ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami
1.      Fana dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya : “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan
segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu. Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
 2. Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.   Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.
B.  Saran
Demikian makalah yang bisa pemakalah sampaikan, pemakalah sadar akan masih terdapat kekurangan dari makalah ini yang jauh dari sempurna, maka dari itu pemakalah mengharapkan kritikdan penjelasan dari dosen pembimbing maupun dari pembaca untuk memperbaiki makalah yang pemakalah jabarkan. Saran pemakalah adalah agar selalu bermanfaat segala penjabaran yang pemakalah berikan dalam tema Fana, Baqa, dan Ittihad kali ini.







                                         DAFTAR PUSTAKA

Abd Haq Anshari, Muhamad. Merajut Tradisi Syari’at dengan Sufisme. Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada
Al-Din Attar, Farid. 1979. Muslim Saints and Mistics : Translated by A.J Arberry. Londong: Rontledge.
Al-‘Aththar, Fariduddin. 1983. Warisan para Auliya’. Bandung: Pustaka
Anwar, Rosihan , Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Badawi, Abdurrahman. Syatahat Ash-Shufiyyah. Dar Al Qalam, Beirut.
Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, Abu. 1960. At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf. Isa Al-Babi Al-Halabi.
Hoeve, Van. 2001. Enseklopedi Islam. Jakarta, PT. Ichtiar Baru.
Jamil, Shaliba. 1979. Mu’jam Al-Falsafy Jilid II. Beirut : Dar Al-Kitab.
Muhammad Abbas, Qasim.2004. Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah. Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr.
Mustofa, A. 2014.  Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang: Jakarta.
Nata, Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.
1993. Enseklopedi Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama.



[1] Muhamad Abd Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari’at dengan Sufisme,  (Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada), hlm. 45-48.
[2]Ibid., Abuddin Nata, Akhlak..., Hlm. 231.
[3]A. Mustofa,  Akhlak Tasawuf,  (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014). Hlm. 259.
[4]Jamil, Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy Jilid II.(Beirut : Dar Al-Kitab, 1979). Hlm. 167.
[5]Ibid.,  Hlm. 235.
[6]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012). Hlm. 233
[7]Ibid.,  Hlm. 234
[8] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu, 1998). Hlm. 236
[9] Fariduddin Al-‘Aththar, Warisan para Auliya’, (Bandung: Pustaka, 1983), Hlm. 128.
[10] Ibid., Hlm. 129.
[11] Lihat Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mistics : Translated by A.J Arberry(Londong: Rontledge, 1979), Hlm. 100
[12]Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, (Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960), Hlm. 147
[13]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[14]Ibid., Harun , Filsafat dan... Hlm. 59
[15] Rosihan Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Hlm. 132.
[16]Ibid., Harun , Filsafat dan... Hlm. 79.
[17]Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, Hlm. 82
[18]Ibid., Harun , Filsafat dan... Hlm. 83.
[19]Van Hoeve, Enseklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001), Hlm. 263
[20]Ibid., Abdurrahman, Syatahat...., Hlm. 87
[21]Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 Hlm. 51
[22]Ibid., Qasim, Abu Yazid... ., Hlm. 50
[23] Ibid., Qasim, Abu Yazid ... ., Hlm. 52
[24]Enseklopedi Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama, 1993, Hlm. 263.
[25]Ibid., Harun , Filsafat dan... Hlm. 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar