BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak
Tasawuf merupakan bentuk ilmu murni yang tergolong dalam Islam. Akhlak dan
Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam tasawuf, digunakan
pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdan, dan
tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini dibanding dengan bentuk
lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk lahiri di dalamnya. Seorang
calon sufi pertama kali harus mengikuti persiapan, ia harus mempuyai iman yang
benar, menjauhi perbuatan yang mungkar, menjauhi dosa besar dan kecil kemudian
menjalankan sunnah rasul yang terpuji[1]
Apapun
bentuk pengertian dari tasawuf, seorang sufi, dan kemudian yang berhubungan
denganfana’ dan baqa’ adalah seluruhnya ingin
memperlihatkan bahwa kita takkan ada tanpa-Nya, dan salah satu bentuk dari
perlihatan itu adalah menyebut diri mereka tidak ada kecuali dzat-Nya. Dan itu
adalah seluruh bentuk pengagungan kepada sang kholik yang terdapat
dalam tingkat tertentu, mungkin dapat dikatakan bentuk pengagungan tingkat atas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Fana, Baqa, dan Ittihad?
2.
Bagaimana
biografi dari tokoh sufi Fana, Baqa, dan Ittihad?
3.
Apa
saja ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
menjelaskan tentang pengertian dari Fana, Baqa, dan Ittihad.
2.
Untuk
menjelaskan biografi dari tokoh sufi Fana, Baqa, dan Ittihad.
3.
Untuk
menjelaskan ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Fana
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana
berbeda dengan fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu.[2] Fana’ (الفَنَاءُ) yang artinya hilang
atau hancur. Atau dalam bahasa inggris diseppear, perish, annihilate. Sehingga
dapat dipahami bahwa fana’ merupakan
proses meghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.[3]Adapun arti fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri
atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri seseorang. Menurut pandangan
lain, fana adalah bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat
ketuhanan. Dan dapat berarti pula hilangnya sifat-sifat yang tercela.[4]
Fana
yang dicari orang-orang sufi ialah penghancuran diri yaitu “Fanaun nafsi” yang
dimaksudkan dengan al-Fananun-Nafsi” ialah kehancurannya perasaan atau
kesadaran atas tubuh kasar.[5] Dari segi bahasa al-fana berarti
hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad(rusak). Fana’ artinya
tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu
yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda
yang bersifat samawiyah dan benda –benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa
keberadaan benda alam itu atas dasar permulaanya, bukan atas dasar perubahan
bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu
dengan cara fana, bukan cara rusak, Adapun artinya fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau
dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela. Dalam pada
itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah
lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang
suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan,
sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini,
maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam
makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya
sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
2.
Baqa
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti
kekal. Menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan
sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah,
maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.[6] Sedangkan kata Baqa’ (البَقَاءُ)
artinya tetap. Terus hidup, dalam bahasa inggris : to remain, persevere bahwa baqa adalah
sifat yang mengiringi dari proses fana dan penghancuran diri untuk mencapai
ma’rifah. Proses penghancuran diri inilah di dalam Tasawuf disebut “fana”, yang
diiringi oleh “baqa”.
Baqa adalah
kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan
kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan
usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan
akhlak yang terpuji. Namun fanayang dicari oleh orang sufi adalah
penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau
kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia, Menurut al-Qusyairi. Berdasarkan
uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga
yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan hal,
karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerusdan juga karena dilimpahkan
oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya
menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat
jembatan atau maqammenuju ittihad (penyatuan rohani
dengan tuhan).
3.
Ittihad
Berbicara mengenai fana dan baqa maka erat hubungannya dengan
Al-Ittihad, yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan
dari fana dan baqa adalah Ittihad.[7] Mustafa Zuhri mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan
dengan Ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baidlowi, yang dilihat hanya satu wujud.
Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini
bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang
mencintai (Tuhan).[8]Dalam situasi Ittihad yang semacam itu, seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang
dicintai telah menjadi satu.
Dalam situasi ittihad yang demikian itu seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, sesuatu tingkatan di mana yang mencintai dan
dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat mengambil
yang satu dengan kata-kata" Hai aku" (فيقول
الواحدللاخرياانا)"Maka yang satu dengan yang lainnya
mengatakan Aku".
Menurut al-Junaid, cerita tentang syahadat Abu Yazid masih simpan
siur, karena dinukilkan oleh orang yang berbeda-beda, baik waktu dan tempatnya
hingga setiap orang atau kelompok menukilkan hikayat Abu Yazid versi mereka
masing-masing. Konsep ittihad ini, bagi yang
bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan, tetapi bagi mereka
yang berpandangan ekstrim pada agama itu dipandang sebagai kekufuran. Faham ittihad ini dapat mengambil
bentuk wahdat al-wujud. Dan untuk mencapai wahdat al-wujudharus melalui
prosesing fana' dan baqa'.
B.
Biografi Tokoh Sufi dari Fana, Baqa dan Ittihad
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya
bernama Surusyan, seorang penganut agam Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi
pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada
didaerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhana.[9] Sejak dalam kandungan
ibunya, Abu Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata kata ibunya, bayinya yang ada
dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan
makanan yang diragukan kehalalannya.[10]
Dalam sejarah tasawuf, Abu
Yazid al- Bustami disebut sebagai
sufi yang pertama kali memperkenalkan fana dan baqa. Ia di lahirkan di Bistam,
Persia 804 M. Beliau berasal dari lingkungan keluarga yang terhormat dan
terpelajar. Ayahnya (Isa) adalah pemuka masyarakat di Bistam,[11] sedang ibunya dikenal sebagai penganut
agama Majusi.
Abu Yazid atau Bayazid atau
al-Bustami adalah seorang sufi yang sangat terkenal. Beliau adalah teman Zunun
al-Misri. Beliau juga termasuk orang-orang yang dikatagorikan sebagai muthawassithu al-Mutashawwifin
al-Amaliyin. Dia dianggap sebagai sufi yang paling tinggi maqam-nya dan
kemuliaanya, bahkan kedudukan Bayazid di antara para sufi diibaratkan seperti
jibril diantara para malaikat.
Pada mulanya Bayazid
mempelajari fiqhi mazhab Hanafi, kemudian ia mendalami tasawuf terutama
mengenai tauhid dan hakekat disamping pengetahuan tentang fana.
Abu Yazid pernah berkata
"siapa yang tidak mempunyai guru maka imamnya adalah Syaitan", sehingga tidak mengherangkan kalau
dalam pengembaraannya mempelajari tasawuf beliau telah berguru kepada 113 guru,
kemudian ia sendiri menjadi sufi besar yang sangat terkenal. Bayazid meskipun
dia seorang sufi besar, tetapi ia tidak meninggalkan tulisan atau bekas tangan
sedikitpun. Ucapan-ucapan
atau ungkapan beliau, banyak dimuat dalam kitab-kitab klasik seperti: al-Risalat al-Qusyaeriyat, Thabaqat
al- Shufiyat, Kasyf al-Mahjub, Tadzikirat al-Awliya' dan al-Luma'.
Abu
Yazid meninggal di Bestam tahun 877 M. makamnya masih ada sampai sekarang dan
banyak dikunjungi oleh orang dari berbagai negeri. Kuburnya berdampingan kubur
al-Hujwiri, Nashir Khurasan dan Yaqut. Nama beliau sangat istimewa dalam hati
kaum sufi, sekaligus tersimpan dalam file sejarah Islam.
Dari pembahasan di
atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu, Abu
Yazid Al Bustami seorang tokoh sufi yang sangat zuhud dan dekat kepada Allah,
yang mampu mengklai kedekatannya dengan Allah dengan statemen yang menyetarakan
dirinya dengan Allah. Pokok-pokok ajaran tasawufnya adalah fana dan baqa’.Fana’ berasal
dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam
istilah tasawuf, fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan
moral yang luhur. Baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti
dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti
mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Selai itu adalah Ittihad. Ittihad adalah
tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi
tahapan fana dan baqa’.
Dalam memahami konsep
tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan
banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan
tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah
tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan
pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak
ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.
C. Ajaran-ajaran dari tokoh sufi Abu
Yazid Al Bustami
1. Fana
dan Baqa’
Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’
berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam
istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya
: “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala
kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu.[12]
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala
keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan
Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : “Permulan adanya aku
di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan
kedua sayapnya daripada daimunah. (Tetap dan kekal). Maka senantiasalah
aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam
udara demikian rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang
lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu
beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya
dan lain-lainnya.Akhirnya beliau berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku
bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”.
Ucapan-ucapan
Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana’ antara lain :
“Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fanait(u), kemudian
aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayait(u).Di samping itu,
Abu Yazid pernah berkata “Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin
melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu,
aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan
keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan
berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi
yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada
di sana.”
Dialog
antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan
Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya
ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu
dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu.” Permintaan Abu Yazid
dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut
ini, “Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah
makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku
adalah Engkau.”[13]
Dalam
literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil
yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga
dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya,
“Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan
seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, “Hai Engkau, aku
menjawab melalui diri-Nya “Hai Aku.” Ia berkata
kepadaku, “Engkaulah Yang Satu.” Aku menjawab,
“Akulah Yang Satu.” Ia berkata lagi,
“Engkau adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah Aku.” Yang
penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah
kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi).
Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah
melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada
lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai Aku Yang
Satu” bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam
arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang
diucapkan lidah sufi ketika berada dalam
ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya
mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu
Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan
kata-kata, “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku
adalah Allah. Tiada Allah selainAku, maka sembahlah Aku.”[14]
Dalam
istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah
Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya
Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat
pada permulaan makalah ini, agar dapat
dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja,
tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak
dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,
kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata
lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah
melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, “Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha
Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah.” Yang
mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa
ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang
diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Adapun baqa’
berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap.
Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena
keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami
fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[15]
2.
Ittihad
Ittihad adalah
tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana
dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad
ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran
ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk
dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad
banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[16] Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.[17]
Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi
satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran
lagidan berbicara dengan nama Tuhan.[18]
Al-Bustami
dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk
mencapai ittihad dengan Tuhan.[19]
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya
dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia
berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab:
“Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku
tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu.
Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.[20]
Pengalaman
ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami. Ucapan-ucapan yang
ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang
keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang
perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang umurnya
waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam
usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.[21]Sebelum
sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana’ dan
baqa’. Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur sedangkan baqa’ berarti
tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain
akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana
dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari
maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal
dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu
yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu.
Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.[22]
Untuk
sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs,
dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi
menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi
‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah
kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal
dengan Tuhan.[23]
Jadi
fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi,ketika ia tentang diri
dan lingkunganya lenyap. Sedangkan baqo`adalah keadaan spiritual seorang sufi
ketika hijab antara diriny dengan Allah tersingkap.dan disini
terjadi apa yang di namakan dengan mukasyafah (menyaksikan keagungan Allah),
musyahadah (mengenalnya secara langsung), ma`rifah (terpesona oleh keindahan
wajah Allah hingga merasa kekal bersamanya). Fana` dan baqa` merupakan ahwal
bukan maqam jadi datang dan pergi semata karena pemberian Allah.Puncak
pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan
berikut :
“Tuhan
berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun
berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Terputus
munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata
kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata,
“Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah
engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” Dalam ittihad kelihatannya lidah
berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun
pada lahirnya ia berkata demikian.”[24]Suatu
ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,
“Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata,
“Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan
Mahatinggi.[25]Ucapan-ucapan
Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia
syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan
dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam. Padahal Abu Yazid
tidaklah seorang musrik atau kafir, akan tetapi ia adalah seorang wali Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian
Fana, Baqa, dan Ittihad
Dari
segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan fasad
(rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu. Fana’ (الفَنَاءُ)
yang artinya hilang atau hancur. Atau dalam bahasa inggris diseppear, perish,
annihilate. Sehingga dapat dipahami bahwa fana’
merupakan proses meghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat
bersatu dengan Tuhan.
Sebagai
akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Menurut para
sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam
diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah
sifat-sifat ilahiah. Sedangkan kata Baqa’ (البَقَاءُ)
artinya tetap. Terus hidup, dalam bahasa inggris : to remain, persevere bahwa baqa adalah
sifat yang mengiringi dari proses fana dan penghancuran diri untuk mencapai
ma’rifah.
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai aku.
2.
Biografi Tokoh Sufi Fana Baqa Ittihad
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan
Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya
adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agam Zoroaster,
kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu
puluhan tahun. Sebelum membuktikkan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi.
Dalam memahami konsep
tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan
banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan
tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah
tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan
pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak
ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.
3. Ajaran dari tokoh sufi Abu Yazid Al Bustami
1. Fana dan Baqa’
Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’
berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam
istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya
: “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala
kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan
segala perasaannya
dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu. Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai
setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Adapun baqa’
berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap.
Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena
keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami
fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
2.
Ittihad
Ittihad adalah
tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana
dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad
ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran
ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk
dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad
banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis. Dalam tahapan ittihad,
seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai
menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas
telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana
nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.
B.
Saran
Demikian makalah yang bisa pemakalah sampaikan, pemakalah sadar
akan masih terdapat kekurangan dari makalah ini yang jauh dari sempurna, maka
dari itu pemakalah mengharapkan kritikdan penjelasan dari dosen pembimbing
maupun dari pembaca untuk memperbaiki makalah yang pemakalah jabarkan. Saran
pemakalah adalah agar selalu bermanfaat segala penjabaran yang pemakalah
berikan dalam tema Fana, Baqa, dan Ittihad kali ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Haq
Anshari, Muhamad. Merajut Tradisi Syari’at dengan Sufisme. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Al-Din Attar, Farid. 1979. Muslim
Saints and Mistics : Translated
by A.J Arberry. Londong: Rontledge.
Al-‘Aththar, Fariduddin.
1983. Warisan para Auliya’. Bandung: Pustaka
Anwar, Rosihan ,
Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Badawi,
Abdurrahman. Syatahat Ash-Shufiyyah. Dar Al Qalam, Beirut.
Bakar Muhammad
Al-Kalabadzi, Abu. 1960. At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf. Isa
Al-Babi Al-Halabi.
Hoeve, Van.
2001. Enseklopedi Islam. Jakarta, PT. Ichtiar Baru.
Jamil, Shaliba. 1979. Mu’jam Al-Falsafy Jilid II. Beirut : Dar
Al-Kitab.
Muhammad Abbas,
Qasim.2004. Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah. Damaskus:
Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr.
Mustofa, A. 2014. Akhlak
Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Nasution, Harun.
1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang: Jakarta.
Nata, Abuddin. 2012. Akhlak
Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Zahri, Mustafa.
1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.
1993. Enseklopedi
Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama.
[1]
Muhamad Abd
Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari’at dengan Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 45-48.
[9]
Fariduddin
Al-‘Aththar, Warisan para Auliya’, (Bandung: Pustaka, 1983), Hlm. 128.
[11]
Lihat Farid al-Din Attar,
Muslim Saints and Mistics : Translated
by A.J Arberry(Londong: Rontledge, 1979), Hlm. 100
[12]Abu Bakar
Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, (Isa
Al-Babi Al-Halabi, 1960), Hlm. 147
[13]Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm.
83
[17]Abdurrahman
Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, Hlm. 82
[19]Van Hoeve, Enseklopedi
Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001), Hlm. 263
[21]Qasim Muhammad
Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus:
Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 Hlm. 51
[23] Ibid., Qasim,
Abu Yazid ... ., Hlm. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar